Jakarta
Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT PLN (Persero) menggelar konferensi pers yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero), M. Abrar Ali, untuk menolak skema Power Wheeling.
Acara ini juga membahas bahaya Power Wheeling bagi PLN dan berlangsung di Jakarta pada Jumat (6/9/2024).
M. Abrar Ali menjelaskan bahwa Power Wheeling adalah konsep lama dalam liberalisasi pasar ketenagalistrikan, yang kini kembali menjadi sorotan dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia.
Skema ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka, baik melalui Wholesale Wheeling, di mana listrik dijual dalam jumlah besar, maupun Retail Wheeling, di mana listrik dijual langsung ke konsumen akhir.
Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi PLN dengan membayar biaya “toll fee.”
Namun, penerapan Power Wheeling dinilai akan membawa dampak negatif yang signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi nasional. Berikut adalah analisis dampak Power Wheeling dari berbagai perspektif.
Dampak Keuangan:
1. Penurunan Permintaan Listrik:
Skema ini diperkirakan dapat mengurangi permintaan listrik organik hingga 30% dan non-organik hingga 50%, terutama dari Konsumen Tegangan Tinggi (KTT), yang akan meningkatkan beban APBN.
2. Beban Keuangan Negara:
Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun. Dampak akumulatif hingga 2030 dapat meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun.
Dampak Hukum:
1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022:
Skema Power Wheeling bertentangan dengan undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, karena melibatkan unbundling yang mengurangi peran negara dalam sektor kelistrikan.
2. Mereduksi Peran Negara: Kompetisi pasar dalam penyediaan listrik berpotensi mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini dan menciptakan potensi sengketa terkait harga, losses, dan pasokan listrik.
Dampak Teknis:
1. Memperburuk Oversupply: Penerapan skema ini berpotensi memperparah kondisi oversupply listrik di Jawa dan Bali, terutama dari pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) yang tidak stabil.
2. Risiko Blackout:
EBT memerlukan cadangan putar tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
Dampak Ketahanan Energi:
1. Ketidakstabilan Pasokan:
Skema Power Wheeling dapat menghambat akses listrik yang stabil dan meningkatkan risiko blackout yang mengganggu ketahanan energi nasional.
2. Lonjakan Harga Listrik:
Beban biaya tambahan dari skema ToP dan cadangan putar akan membuat harga listrik melonjak, yang akan membebani konsumen dan APBN.
M. Abrar Ali menegaskan bahwa penerapan Power Wheeling justru akan merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara keseluruhan. Dengan memperhatikan berbagai perspektif ini, kebijakan Power Wheeling sebaiknya ditinjau kembali untuk meminimalisir dampak negatif dan menjaga kestabilan serta ketahanan energi nasional.(red)